neobux

klik aja deh

Askep Kejang Demam

Rabu, 20 Januari 2010

BAB I
KONSEP DASAR PENYAKIT KEJANG DEMAM

A. Pengertian
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38° C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

B. Etiologi
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya : tonsillitis, otitis media akut, bronchitis, dll.

C. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

D. Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.
untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)
2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.

E. Klasifikasi Kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

F. Diagnosa banding kejang pada anak

Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.
a. Gemetar
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .
b. Apnea
Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.
Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.
c. Mioklonus Nokturnal Benigna
Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan.
G. Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Penatalaksanaan Umum terdiri dari :
a. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati
b. Memonitor pernafasan dan denyut jantung
c. Usahakan suhu tetap stabil
d. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain
e. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
Diazepam jarang digunakan untuk memberantas kejang deman pada BBL dengan alasan :
a. Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya
b. Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan
c. Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.



























BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :
1. Data subyektif
a. Biodata/Identitas
- Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
- Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
b. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
* Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
1. Apakah betul ada kejang ?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak.
2. Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam..
2. Lama serangan
Lama bangkitan kejang dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
4. Pola serangan
- Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat tonik, klonik, mioklonik ?
- Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?
- Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
- Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
5. Frekuensi serangan
- Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
6. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
- Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
- Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
* Riwayat Penyakit Dahulu
- Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
- Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
* Riwayat kesehatan keluarga.
- Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan).
- Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya ?
- Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
c. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
d. Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
- Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
- Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
- Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
- Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
e. Riwayat sosial
- Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yang mengasuh anak ?
- Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?
f. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
2. Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak.
Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
3. Pola Eliminasi :
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?

4. Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya ? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam ? Aktivitas apa yang disukai ?
5. Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?

2. Data Obyektif
a. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?.
2. Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
3. Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
4. Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
5. Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
6. Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
7. Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi ?
8. Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?
9. Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?
10. Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
11. Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
12. Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?
13. Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
14. Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
15. Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?
3. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1. Resiko terjadi trauma fisik/cidera berhubungan dengan kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
2. Resiko terjadi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurunan kekuatan.
4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.

B. INTERVENSI
1. Diagnosa keperawatan : Resiko terjadi trauma fisik/cidera berhubungan dengan kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Tujuan : Tidak terjadi trauma/cidera
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan
2. Mempertahankan aturan pengobatan
3. Meningkatkan keamanan lingkungan
Intervensi :
1. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah
2. Tinggallah bersama klien selama fase kejang
3. Letakkan klien ditempat yang lembut
4. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
5. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional :
1. Meminimalkan injuri pada saat kejang
2. Meningkatkan kemanan klien
3. Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstrimitas ketika control otot volunter berkurang
4. Membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu
5. Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal

2. Diagnosa keperawatan : Resiko terjadi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
Tujuan : Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria hasil :
1. Kejang dapat dikontrol
2. Suhu tubuh kembali normal :
- 36,5° – 37,5° C (bayi)
- 36° - 37,5° C (anak)
Intervensi :
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat
2. Berikan kompres dingin
3. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
4. Batasi aktivitas selam anak panas
5. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis.
Rasional :
1. Proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat
2. Perpindahan panas secara konduksi
3. Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan
4. Aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas
5. Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis

3. Diagnosa keperawatan : Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil :
1. Suhu tubuh : 36° - 37,5° C
2. Anak tidak rewel
Intervensi :
1. Kaji faktor-faktor terjadinya hipertermi
2. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam sekali
3. Pertahnkan suhu tubuh normal
4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak
5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
6. Atur sirkulasi udara ruangan
7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien sering minum
8. Batasi aktivitas fisik
Rasional :
1. Mengetahui penyebab terjadinya hipertermi karena penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.
2. Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
3. Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan,kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh
4. Proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara
5. Proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.
6. Penyediaan udara bersih
7. Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat
8. Aktivitas meningkatkan metabolism dan meningkatkan panas

4. Diagnosa keperawatan : Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil :
1. Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam
2. Keluarga tidak bertanya lagi tentang penyakit anaknya
3. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan
4. Keluarga mentaati setiap proses keperawatan
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
2. Beri penjelasan kepada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes
3. Jelaskan kepada keluarga setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan
4. Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas
5. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu.
6. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam.
Rasional :
1. Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran
informasi yang didapat.
2. Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga
3. Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
4. Mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang
5. Sebagai upaya preventif serangan ulang
6. Imunisasi DPT memberkan reaksi panas yang dapat menyebabkn kejang demam.

C. EVALUASI
1. Tidak terjadi trauma fisik / cidera selama perawatan.
2. Klien tidak mengalmi kejang selama 2 x 24 jam.
3. Rasa nyaman terpenuhi.
4. Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.











DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM, 1989, Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak, Gaya Baru, Jakarta.

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta.

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta.

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Rendle John, 1994, Ikhtisar Penyakit Anak, Edisi ke 6, Binapura Aksara, Jakarta.

Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.

Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga, Surabaya.

Sumijati M.E, dkk, 2000, Asuhan Keperawatan Pada Kasus Penyakit Yang Lazim Terjadi Pada Anak, PERKANI : Surabaya.
Wahidiyat Iskandar, 1985, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 2, Info Medika, Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

massage

Blog ini akan meng-update postingan setiap minggu.

Jika ada halaman yang kosong jangan hiraukan,copy-paste aja semuanya.

Dan jangan lupa kirim commentnya jika menurut anda blog ini penting


SITEMETER

  © Blogger template The Beach by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP